Monday, August 21, 2006

Cerpen Tai Kucing Rasa coklat!

Tai Kucing Rasa Coklat!

Kolong jalan abu-abu menebarkan suasana mencekam saat aku keluar dari sarang. Tiang-tiang aspal melayang menjadi saksi kegalawanku pada nasib hidup di kota Jakarta. Dengan rambut terurai hitam mata melotot dan muka pucat kusam aku melangkah menghadapi ganasnya peradaban. Aku melata di Bumi tanpa arah dan tujuan. Aku berharap hari ini nasib hidupku dapat berubah, tak menjadi pengangguran lagi seperti kemarin. Enggak ada yang indah, yang ada Cuma panasnya hati tak kunjung hilang dari rasa kecewa.

Aku menjalani hidup bertahun-tahun dengan rasa bosan dan suntuk. Ijazah ku tak cukup untuk nyari makan. Padahal orang tuaku telah menghabiskan banyak uang untuk sekolah ku. Selama dua belas tahun belajar aku merasa tak mendapatkan apa-apa. Setiap hari reporter televisi mengatakan Negeri ini sedang krisis. Tetapi yang kulihat di jalanan banyak mobil-mobil mewah menggelinding, Mol-Mol banyak bertumbuhan seperti jamur, rumah-rumah mewah berjejer rapi di sekitar jalanan Ibu kota.

Sebenarnya yang terjadi di kota ini adalah jurang pemisah yang sangat jauh antara si kaya dan si miskin. Mereka yang kaya hidup di apartemen-apartemen mewah dengan congkak menantang langit, tapi lihat di belakang gedung itu gubuk-gubuk dari triplek berdebu dan seng hitam menyengat bertebaran tak tertata. Sebuah desain jomplang peradaban hari ini, peradaban modern yang di puja-puja!.

Menjadi penganguran di kota ini seperti tai kucing. Bau, kotor dan di buang. Zaman ini binatang lebih mulia dari pada manusia. Sebab sebagian manusia menempatkan manusia lain di bawah derajat binatang. Seperti aku ini, hanya tai kucing yang tak berdaya. Menjadi parasit yang mengisap darah orang tuaku sendiri. Seorang anak yang tak bisa memberikan apapun selain air mata dan kesusahan. Mencari sesuap nasi pun tak mampu, bisanya hanya makan, tidur, beol dan main.

Metromini merah bersuara bising berhenti di hadapanku. Kendaraan itu mengeluarkan asap hitam melambung ke udara. Baunya seperti tumpukan sampah. Walaupun penuh penumpang aku tetap nekad berjejelan di dalamnya. Berada di metromini seperti berada di open atau ruangan spa dengan hawa kecut manusia. Bau ketek, asap rokok, besi berkarat bercampur baur di dalam desakan aroma tubuh-tubuh manusia yang belum mandi. Supir metromini melaju kecepatan, melintasi lekukan-lekukan jalan tanpa menginjak rem sedikit pun. Benar-benar kepalaku di bikin pusing tujuh keliling, hampir-hampir aku ingin memuntahkan isi lambungku. Yang pasti mukaku di buat pucat pasi di dalamnya. Habis bagaimana, cuma ini transportasi termurah di kota ini.

Kalau hidup terus seperti ini rasanya lebih baik berakhir saja. Dari pada terus menerus menyiksa orang tuaku, mungkin kepergianku dapat melegakan dada mereka. Si cantik Marela pun menolak mentah-mentah cintaku, sebab aku tak punya pekerjaan tetap. Wanita zaman sekarang memang matrealistis, hati mereka tak dapat di beli dengan cinta. Asal di tumplekin duit sekarung di hadapan mereka. Mau di bobolin mulut keperawanan nya berkali-kali pun mereka takkan sungkan. Seandainya kita mau menyetubuhi mereka setiap malam tanpa ikatan pernikahan pun mereka rela. Asal kita mau memberikan apa yang mereka inginkan, apapun yang kita inginkan pasti mereka beri!. Walaupun itu melanggar budaya dan agama.

Semua hal di zaman ini ukurannya uang!. Uang adalah segala-galanya, bahkan banyak orang menjadikannya Tuhan baru. Agama hanya tradisi kuno yang melanggar hak asasi manusia. Akibatnya manusia-manusia di sekitarku menjadi binatang liar yang rakus dan buas!. Sementara aku hanya menjadi korban dari mereka-mereka yang tak memberikan raung penghidupan. Sehingga aku di paksa untuk menyalahkan diri sendiri karena tak mampu berbuat apa-apa dalam peradaban.

”Aaaaaaaaakh.....!,” teriak batinku.

Aku muak dengan semua ini....., aku sangat muak!. Akan ku ledakkan kota ini dengan nuklir biar hancur berantakan. Akan aku tusuk-tusuk dan ku keluarkan jantung mereka yang sombong dengan uang dan kekuasaannya. Atau aku rampok semua uang di bank dan uangnya akan ku bagi-bagikan pada orang-orang miskin di kota ini. Ingin juga aku injak-injak kepala para pemimpin yang tidak adil dan sewenang-wenang. Biar mereka semua sadar bahwa yang mereka lakukan selama ini merupakan sebuah kesalahan besar.

Jalanan kotor dan becek aku lalui setelah turun di pangkalan metromini. Tak ada masa yang paling indah selain masa kecil ku. Masa dimana aku tak pernah memikirkan sesuatu selain kesenangan dan kebahagiaan. Kepala botak tanpa pakaian berlarian di pinggir kali becek dengan celana pendek. Lalu bersama teman-teman sekampungku aku nyebur kali Ciliwung yang coklat dan butek. Tak ada kesedihan selain teriakan wajah kecil ceria dan bersenda gurau di sekitar kali. Tapi semua itu tinggal kenangan setelah aku mengetahui realita hidup yang sebenarnya.

Aku baru mengerti kenapa teman-temanku sangat suka menggunakan ganja dan minum Alkhohol. Begadang semalaman dan mendendangkan gitar kopong hingga dini hari. Main gapleh merauk kenikmatan walaupun hanya beberapa saat. Mereka hanya ingin ketenangan dari beban berat yang menghantui masa depannya. Walaupun barang laknat itu malah makin menghancurkan hidupnya. Tapi rasa putus asa akibat kehidupan yang ganas membuat teman-temanku mencari jalan pintas.

Aku tak ingin terlalu terbawa dengan lingkunganku. Bagiku beberapa batang rokok dan secangkir kopi lebih dari cukup untuk manghalau rasa kecewa. Aku kecewa pada Bangsa ini terutama pada penghianat dan koruptor. Sedikit banyak hancurnya masa depan kami di akibatkan ulah-ulah mereka. Mereka mencuri banyak duit rakyat, memotong anggaran pembangunan untuk kepentingan pribadi. Mereka menyukai makanan kotor dan hina. Mereka seperti makan tai kucing rasa coklat.

Dari pada aku jalan muter-muter gak karuan, mending aku nongkrong di atas gedung. Menatap pemandangan sore Jakarta. Terlihat di ujung sana gedung-gedung pemukul raksasa, di samping nya terhampar pohon-pohon hijau bercampur semak belukar. Tetapi di sekitarnya di hiasi gubuk-gubuk tak tertata seperti makanan mewah yang di simpan dalam tong sampah.

Aku memandang lukisan Jakarta yang mau gak mau aku harus nikmati. Sebab aku hidup di alam yang seperti ini. Di atas gedung ini aku merenung, walaupun hanya sekedar melepas penat. Tak ada yang ku pikirkan kecuali masa depan, masa depan dan masa depan!. Mungkin ini suara untuk para penguasa peradaban dari seorang pemuda bangsa yang sedang putus asa!.

Aku bosan melihat para Raksasa berkeliaran seperti Anjing kelaparan. Aku benci melihat manusia berkeliaran hanya untuk memuaskan hawa nafsunya. Enggak di jalan atau di gedung pemerintah. Enggak di kota atau di desa. Enggak di pantai atau di pegunungan. Semuanya bertindak sama! Gila recehan, gila pengaruh, gila body seksi.

Mau apa sekarang?! Cacing tanah pun malas menatap mereka. Kecoak juga malu melihat tingkah laku mereka. Seandainya aku T-Rex akan ku kumpulkan seluruh spesies Dinosaurus untuk membantai Peradaban ini. Akan ku cabik-cabik tubuh Presiden dengan cakar tajam raksasa ku. Akan aku kunyah-kunyah daging dan tulangnya dengan gigi runcingku hingga hancur seperti bubur. Lalu aku telan biar di hajar habis oleh jutaan bakteri dalam perutku.

Cahaya sore belum juga berakhir dan pikiranku masih melayang tanpa henti. Jangankan ngurus Bangsa ngurus diri sendiri saja susah. Aku memang orang terbelakang dan terhina di Negeri ini. Bila di kehendaki aku ingin menembus langit dan menggenggam Dunia. Itu juga kalo bisa...., bila tidak ya sudah!.

Makin hari hidup ini rasanya makin menyesakkan. Makin bertambah umur aku makin putus asa menghadapi kenyataan. Langit Dunia mulai berwarna abu-abu aku terlentang di atas lantai beton.

Peradaban ini memang kaya tai! Semua kotor dan hina. Sebab kalau kita ingin senang harus menyiksa dan menindas orang lain. Apa kita sanggup ketawa setelah menusuk-nusuk jantung manusia. Artinya semua kebahagiaan itu hanya kebohongan belaka. Kata siapa harta benda bisa membuat kita bahagia, bukannya malah tambah stres. Juga membuat kita sombong dan terhina di hadapan Tuhan. Apa nikmatnya kekayaan hasil dari menipu atau berkhianat. Maling aja mikir dulu kalau mau merampok orang miskin.

Hantu-hantu berkeliaran seperti kambing conge. Mereka di fitnah manusia karena suka mengganggu dan menakut-nakuti manusia. Padahal manusia lah yang suka mengganggu dan bikin takut hantu. Siapa pun dia termasuk hantu kalau di tindas pasti akan berontak. Dan muka serem yang di tampakkan para hantu merupakan wujud pemberontakan mereka terhadap manusia, karena terlalu sering tertekan dan di singkirkan. Padahal para hantu telah hidup di Bumi sebelum spesies manusia lahir.

Aku masih kecewa karena belum dapat memberikan apa-apa pada diriku lebih-lebih pada orang tuaku. Dari pada selalu membebankan mereka lebih baik aku meng akhiri saja!. Mungkin kematianku dapat memperkecil beban Negara karena sedikit mengurangi penganguran. Aku pun lebih damai tanpa harus selalu meresa kepalaku di pukul-pukul oleh sebongkah batu raksasa.

Aku berdiri dan melangkah lambat keujung gedung. Sekali lagi aku melihat pemandangan peradaban yang hina. Dari atas gedung aku menatap ke bawah, teras cadas abu tersenyum simpul pada ku, di sampingnya rambut gondrong hijau pepohonan menatapku teduh. Mereka saksi mati yang tau niat ku untuk melompat dari gedung ini.

Aku bentangkan tanganku, ku hirup oksigen untuk terakhir kalinya. Lalu aku pejamkan kelopak mataku, dan berdoa untuk terakhir kalinya. Seandainya aku di lahirkan kembali, aku ingin hidup di sebuah peradaban yang Pemerintahnya adil dan jujur. Rakyatnya bermoral, saling menolong, saling melengkapi, dan saling menyayangi!. Tak ada kebencian dan kejahatan. Tak perlu perang-perangan, tak perlu ada yang sengsara. Sebuah peradaban yang damai, tentaram, aman, dan sejahtera.

Sedetik kemudian aku melompat bagai burung dari atas gedung. Terasa angin kencang menahan tubuhku di udara. Terdengar debaran kencang detak jantungku sendiri, sayup-sayup suara malaikat maut menyambutku. Dan tercium aroma harum peradaban impian yang akan aku datangi di alam selanjutnya. Aku menatap teras cadas dengan senyuman pasti. Tapi tiba-tiba aku bertanya pada diriku kenapa aku harus mati?!. Kenapa aku tidak mati saja di ujung peluru aparat akibat memperjuangkan keadilan untuk rakyat. Bukankah tidak sia-sia tetesan darah yang aku tumpahkan. Dari pada aku harus mati terhina seperti ini.....?!. Aku tersadar...., aku tak jadi ingin mati tapi sudah terlambat. Aku menyesal, aku sangat menyesal!. Aku berontak......aku ingin hidup tapi sudah terlambat.

”Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkk!!!.”

Beberapa detik kemudian terdengar hentakan keras. Aku terjelembab dalam kegelapan yang menyiksa. Warna dunia berubah menjadi gelap gulita. Berlahan-lahan kegelapan itu berangsur-angsur menjadi putih dan terang. Tapi setelah itu cahaya terang itu berubah menjadi gelap lagi. Lalu muncul bulatan cahaya putih bersinar. Cahaya itu di kelilingi ribuan titik-titik sinar yang memukau. Dalam bayang-bayang aku terbangun dengan muka pucat.

”Sialan aku ketiduran di atas gedung!.”

TAMAT Bogor, Indonesian 7 Juli 2004. Pukul 13:00WIB

No comments: