Saturday, October 11, 2008

Kambing Congek Peradaban

Kambing Congek Peradaban?!

Oleh: Gatot Aryo

Aku terjebak dalam peradaban
aneh.banyak perputaran hidup yang kujalani hanya membawa ku pada satu penjara
menuju penjara lain. Banyak bentuk-bentuk aneka tingkah laku yang tidak aku
mengerti, sepertinya manusia tapi kelihatannya lebih mirip binatang!. Bahkan
ada yang pantas di sebut setan, wah kacau?!. Padahal mereka kan manusia, kalian kan bukan tikus got yang senangnya menyusuri
lorong-lorong gelap, becek dan kotor.hidup di sana dengan berbagai macam bau tengik, sampah busuk, dan
macam-macam tai. Lidahmu juga bukan lidah Anjing yang selalu menjulur dan
mengeluarkan air liur yang najisnya bukan main.

Tapi sayang tingkahmu mirip
tikus-tikus itu, lidahmu hanya mengeluarkan kata-kata najis. Dimana naluri
kemanusiaan mu?. Engkau malah senang menjadi singa, binatang buas yang hidup
dengan membunuh binatang lemah tak berdaya. Aku coba perhatikan sahabat-sahabat
mu yang lain, mereka sangat mirip dengan monyet, babi, kucing, cicak bahkan
kecoak!.

“Hey… kalian tuh manusia!.”

Nafas peradaban bagai aroma
ketiak setan yang menyengat menusuk hidung jutaan manusia bertanduk merah yang
menguasai peradaban. Dan aku hanya kambing congek diantara hiruk pikuk peadaban
metropolis.

Jejak-jejak penindasan aku temui
dimana-mana, hisapan-hisapan darah rakyat bercecer di jalanan. Ketida adilan
adalah budaya!, kesewenang-wenangan malah jadi gaya
hidup!. Manusia berwajah banyak bergentayangan di
lorong-lorong gedung. Kadang mereka memakai wajah penjilat, sesekali memakai
wajah penipu, kadang juga memakai wajah penghianat!. Yang pasti wajah itu
lisensinya Iblis punya, dan anehnya Iblis mengobral lisensinya dengan gratis!.

Seekor nyamuk terbang pas di
depan mataku, sesekali ia menghampiri telinga ku. Suara nyamuk itu nyaring
melengking menggatalkan telinga. Setelah sekian kali berputar-putar, akhirnya
dia berlabuh diatas pori-pori kulitku. Ujung mulutnya mulai menusuk lobang
pori-pori, rasanya sakit campur ngilu.

“Akhhh…,” aku merasakan kenikmatan diantara kesakitan itu. Dan kemudian tangan ku bergerak.
“PLAAAKKK!,” satu tamparan keras membunuh nyamuk itu.

Aku pandang lekat-lekat nyamuk
gepeng yang mati diantara ceceran darah segar di sekitarnya. Aku memang kejam,
seekor nyamuk menggigitku harus aku balas dengan nyawa. Memeng nyamuk itu
bersalah karena membuatku sakit lebih dulu. Tapi apakah aku harus sekejam itu
hingga harus membalas dengan membunuhnya?!.

Aku terjebak dalm kesakitan yang
pilu. Hembusan gelombang asa menyayat hati, menjadikan belenggu jiwa dan
penderitaan tanpa henti. Terkurung aku dalam kegelapan ruang dan waktu.
Terlempar diriku kedalam air comberan. Apakah salah bila aku memperjuangkan
keadilan?!. Kenapa zaman ini setiap kejahatan menjadi pahlawan!, dan setiap
kesalahan menjadi kebenaran!.

Tubuhku rasanya seperti di
kuliti. Kulitnya terkelupas dan yang tersisa hanyalah tinggal daging, otot, dan
tulang. Aku tak kuasa melawan peradaban ini, ratusan kali tubuhku terjungkal.
Aku hanya bisa menjadi penonton dan kambing congek.

Aku benci mereka!, aku laknat
mereka!. Tapi hasilnya kok aku yang hancur, kok aku yang hina, kok aku yang di
singkirkan!!!

Aku keluar dari kamar kos menuju
jalan besar. Niat ku pergi ke pasar, maka itu aku naik becak. Cahaya kuning
yang menyengat memanaskan suhu dalam becak. Suhu tubuhku mulai meningkat
disertai tetesan keringat yang mulai membasahi sebagian wajah, tangan dan
punggung ku.

“Puiiihh,” ucapku mulai gak betah berlama-lama dalam becak.

Sesampai di pasar aku mampir
dulu di warteg. Maklum belum punya istri makan pagi terpaksa harus cari warung
murah meriah. Nasi pake dadar telor plus kuah sayur dan sambel cuma dua ribu lima
ratus perak. Untuk kelas ekonomi pas-pasan sepertiku,
wateg adalah pilihan favorite.

Sedang asik menikmati dadar telor Bu Minem, ada
seorang pengamen masuk ke dalam warteg. Dengan irama dangdutnya dia pun
menyanyikan lagu Roma Irama.

“Begadang jangan begadang!,” teriak suara falsnya.

Mau gak mau aku makan sambil goyang lidah. Bukan
karena irama dangdut pengamen, tapi lidahku terlalu banyak makan sambel. Asal
tau sambal Bu Minem itu pedasnya dahsyat Bang!.

“Terima kasih Tuhan perutku kenyang!.”

Bakteri diperutku sangat bahagia, aksi demostrasi
mereka seketika terhenti setelah ribuan karbohidrat, protein dan lemak memadati
isi lambungku.

Keluar dari warteg pandangan mataku mulai muak kembali.
Mobil-mobil mewah berhenti di lampu merah, disampingnya ada seorang bocah kecil
sedang menengadahkan tangannya kearah mobil. Tetapi pemillik mobil itu
mengacuhkan dia dengan muka masam

Aku muak dan geram melihat kesombongan di depan
mataku. Apa salahnya berbagi kebahagiaan sesama manusia. Kenyataan peradaban
membuat mau tidak mau kita harus menerima keberadaan mereka!. Sikap sombong tak
akan membauatmu tambah kaya, malah dengan sifat itu engkau menjadi hina
dihadapanku!.

Beberapa detik kemudian mobil mewah mengkilat itu
melesat meninggalkan debu. Bocah kecil itu tidak mendapatkan apa-apa, terpancar
wajah malu yang bergejolak dalam hatinya. Bocah cilik yang menjadi exploitasi
orang tua yang pemalas. Manusia yang menjadikan darah dagingnya sebagai tameng menghadapi
buasnya peradaban. Hanya orang tua tolol yang mengajari anaknya menjadi
pengemis. Muak aku melihat orang tua yang berpakaiaan sok compang-camping
mengawasi dari jauh agar anaknya menjadi pengemis professional, lisensi
produk-produk kolong jembatan.

Wajah bocah itu terlihat buram seperti asap knalpot.
Duit ga dapet, yang ada malah jutaan gas timbal memasuki rongga hidungnya. Zat
berberhaya yang dapat membusukkan paru-paru. Kejam betul peradaban modern yang
katanya puncak tertinggi kebudayaan manusia.

“Dasar kecoak-kecoak peradaban!,” umpatku pada mobil
mewah yang melesat.

Aku muak setiap hari hanya melihat kemunafikan dan
kebusukan peradaban. Tapi bodohnya aku hanya bisa melihat tapi tidak bisa
berbuat sesuatu?!. Aku hanya bisa mendengar jeritan penindasan tapi tak bisa
menolong?!. Aku hanya bisa merasakan ketidakadilan tapi tak bisa melakukan
perubahan?!. Aku hakekatnya seperti orang yang buta, tuli,dan bisu terhadap
realita hidup. Lebih tepatnya seperti kambing congek di peradaban yang hina!.

Aku tak bisa terus berdiam diri melihat kemunafikan
didepan mataku. Nuraniku tak kuat menahan ketika kejahatan menjadi raja. Aku
ingin meledak! aku malas hidup di tengah-tengah peradaban seperti ini.
Sepertinya hidupku tidak berarti sama sekali. Untuk apa aku hidup kalau hanya
menjadi penonton?!. Untuk apa aku disini kalau tangan dan kakiku tak pernah
bisa berbuat sesuatu.

Aku berjalan
disepanjang trotoar metropolitan dengan rasa muak. Mataku memerah menatap ujung
aspal tak berujung, aku hisap kuat-kuat sebatang rokok. Asap tebalnya ku
muntahkan ke alam liar. Bercampur bersama asap-asap knalpot kendaraan yang
membisingkan telinga.

Aku tertekan, kepalaku sakit. Aku tak tahan lagi
menahan beban berat di otakku. Aku malas berjalan lambat terus seperti ini. Aku
ingin berlari, aku ingin lebih cepat, aku ingin berlari kencang!!!. Aku terdiam
sejenak dan mulai memejamkan mata, konsentrasi memusatkan pada satu pikiran.
Dengkulku mulai bergetar, dadaku terasa panas, aku mulai melangkah kan
kaki berlahan-lahan. Makin lama langkah ku makin
cepat dan lebih cepat lagi?!!!.

Aku pun mulai berlari seperti atlit maraton di
sepanjang pinggir trotoar jalan. Aku tak perduli siang ini matahari memanggang
kulitku. Aku terus berlari kencang, semakin kencang, dan lebih kencang lagi!.
Aku ingin melepaskan semua beban di otak ku. Aku ingin meledakkan semua amarah
dalam otakku. Tak perduli orang-orang di sekeliling melihatku seperti orang
aneh. Aku terus berlari di jalan raya Ibukota tanpa arah dan tujuan jelas.

“Aaaakkhhh!,” desahku berlari menghabiskan seluruh
energi yang tersisa.

Entah berapa kilometer jalan yang telah aku lewati,
entah berapa ratus tikungan yang aku singgahi, entah berapa jam yang telah aku
tempuh!. Yang pasti matahari mulai tenggelam, sengatan panasnya mulai sirna.
Seluruh baju dan celanaku basah kuyup oleh keringat. Tubuh ku mulai letih tak
terkira, suara nafas ku terdengar keras dan cepat. Dua buah sandalku putus di
tengah jalan. Kecepatan lariku mulai lambat, beban berat otak di kepalku
sedikit berkurang…?!.

Badanku lemah, tetapi hatiku puas. Badann ku seperti
melayang di atas aspal jalan. Pikiranku menari-nari seperti tarian kelinci di
atas padang
rumput yang luas. Aku tak perduli lagi dengan
orang-orang di sekitarku. Aku memang tuli pada alam di sekitarku. Aku hanya menjadi
kambing congek di peradaban yang aneh ini. Aku hanya manusia yang tidak
berarti!!!.

Aku tersungkur di ujung jalan. cairan keringat
membanjiri seluruh tubuhku, nafasku tersengal-sengal seperti di cekik!. Dadaku
berdebar kencang, getarannya terdengar kuat di telingaku. Aku sangat puas, puas
sekali…!!!. Walaupun ini tidak menyelesaikan masalah ku, tapi cukup
melampiaskan kemuakanku pada peradaban!.

Aku tak perduli orang-orang memandang naif tingkah
laku ku. Aku hanya lah kambing congek yang tuli dan bisu. Tak sanggup mendengar
jeritan ketidakadilan di sekitarku, apalagi sanggup mengatakannya?!.

Aku ingin bergerak, tapi gerakanku tak pasti. Aku
ingin melangkah, tetapi langkahku tak nyata!. Disisi jalan dekat kebun, ada
seekor kambing terikat di pohon. Aku menghampirinya, kambing itu
mengembik-ngembik di depan mukakku. Aku
menatap bintang itu dan bertanya pada diri sendiri?!.

“Apa aku mirip binatang ini?!.”

Secara fisik memang berbeda, tapi kalau sifat kenapa
aku merasa mirip sekali binatang ini.

“Tidakkkk!!!.”

Aku manusia…, aku bukan hewan yang hidup dengan
nafsu belaka. Aku manusia yang punya akal dan nurani. Aku mengerti mana yang
benar dan salah. Mana yang jujur dan bohong. Kenapa aku menyamakan diriku
dengan binatang?!. Di saat aku memaki para penjahat dengan binatang, kenapa aku
memaki diriku juga dengan binatang?!. Sedangkan aku tidak melakukana kerusakan
seperti yang di lakukan mereka. Yang aku lakukan adalah tidak melakukan
apa-apa, aku hanya “DIAM”.

Aku tidak merasa bersalah karena aku diam. Tetapi
ketika aku memiliki dua tangan untuk bergerak, dua kaki untuk melangkah, punya
mata dan telinga untuk melihat serta mendengar, punya mulut untuk bicara,
kenapa aku harus “diam”. Sedangkan raksasa peradaban secara membabi buta
berbuat kerusakan diatas Bumi. Tetapi yang aku lakukan hanya melihat dan
mendengar lalu “diam”.

Diam seperti benda mati tak bernyawa. Dari pada diam
lebih baik gak usah hidup!. Sebab keberadaan kita tidak ada manfaatnya, malah
bikin susah. Kita punya modal dan kesempatan , tapi kenapa tidak memaksimalkan
segala kemampuan yang kita punya untuk kemaslahatan umat manusia.

Semiskin apapun aku, serendah apapun pendidikanku,
sesempit apappun gerakku, itu tidak bisa dijadikan alasan aku untuk tidak
berbuat sesuatu!. Sebab aku punya modal dan kesempatan, tinggal mau bergerak
atau tidak?!. Tuhan saja tidak pernah diam, langit dan bumi saja terus bergerak
setiap saat. “Kenapa kita hanya diam???”, padahal kita ciptaannya dan juga
bagian dari alam ini?!.

Aku berjalan di trotoar seperti gembel kehabisan
perbekalan. Sebenarnya aku sedang larut merenungi diri, mencari pencerahan di
balik kerancuan fikiran. Tidak jauh dari aku berdiri, ada seorang pengamen
cilik dikerumuni beberapa preman berwajah garang. Dipojok tikungan lampu merah
si bocah cilik di angkat bajunga sebari di maki-maki salah seorang preman
bermata merah dan bercodet di pipi.

Bocah itu mengeluarkan bungkus plastik yang isinya
hasil jerih payah dia mengamen seharian. Ternyata si preman mau merampok uang
bocah cilik itu!. Sebuah sinar terang secepat kilat menghentak batinku. Ini
sebuah kejahatan manusia dan aku harus mencegah?!. Karena kau tidak ingin diam
dan menjadi penonton. Aku bukan kambing congek yang punya mata tapi buta dan
punya telinga tapi tuli.

Aku harus bergerak dan melakukan sesuatu untuk
mencegah. Tanpa berfikir panjang aku segera berlari sambil berteriak lantang ke
arah kumpulan preman itu.

“Weeeey Kaliaaaan!!!,” teriakku garang.

Tanpa berkat banyak aku membabi buta seperti orang
kesurupan hantu Superman. Dan gerombolan preman itu di buat kalang kabut karena
aku menyerang secara tak terduga.

Aku melancarkan serangan brutal ku kesegala arah…!,
tapi serangan ku bukan tanpa perlawanan. Setelah dibuat kacau para preman balik
melawan. Mereka mengeluarkan semua senjata yang mereka bawa, balok, rantai
besi, golok, hingga pisau belati. Mereka mengepung dan bersiap-siap menyerangku
tidak kalah garangnya.

Aku tidak gentar sedikit pun, taka da rasa takut karena aku sudah siap untuk mati.
Orang-orang sekitar melihat kejadian ini hanya mencemooh tindakanku yang tolol
melawan gerombolan preman bersenjata. Aku gak perduli tindakanku di anggap
sebuah kekerasan sebab ini merupakan langkah terakhir ketika hati dan telinga
penjahat sudah tertutup dan tak bisa lagi di sentuh kelembutan. Walau akhirnya
aku gagal, hal ini lebih baik dari pada diam. Melakukan sesuatu lebih biak dari
pada tidak melakukan apa-apa!.

Aku menyerang pimpinan preman bermuka codet. Dia
menagkis seranganku. tiba-tiba sebilah balik menghajar punggungku, berikutnya
rantai besi melayang menghantam lututku. Akupun jatuh tersungkur, setelah itu
aku menjadi bulan-bulanan preman lain. Kepala dan wajah ku penuh dengan darah,
badanku memar-memar, tulang punggungku terasa sakit sekali!. Aku masih bangkit
dan menyerang kembali sekuatnya. Tiba-tiba si codet mendekatiku dan melayangkan
sebilah pisau belati keperutku. Aku tersentak nyeri, mataku melotot menahan
sakit. Pisau belati codet membelah perutku hingga ke uluh hati. Aku merasa
diriku akan mati, dan aku telah sampai di titik akhir perjuangan.

Sebari menyambut kematian, aku memgang bahu si codet
dan tersenyum. Wajahku besinar cerah secerah manusia yang mendapatkan ribuan
pencerahan. Lalu berkata pada si codet.

“Mati dalam perjuangan kebaikan, lebih baik dari pada
hanya cuma bisa diam…!!!,” ucapku terbata sambil menghempaskan nafas
terakhir.

Setelah itu aku didera sakit seperti ditusuk seribu
pedang, lalu warna dunia berubah menjadi gelap!. Aku mati di pangkuan si codet
layaknya bangkai. Tiba-tiba sinar terang menyentak pikiran dan hati si codet.
Dua mata merahnya berkaca-kaca, dan tetesan air suci menyusuri codet hitam di
sekitar pipi coklat yang kusam.

TAMAT Bogor,
7 agustus 2006

(go to hell Zionis!)

Cerpen Manusia Trotoar

ManusiaTrotoar

Oleh: Gatot Aryo

Seorang laki-laki mendorong
grobaknya di trotoar jalan. Kulitnya coklat kehitam-hitaman, matanya sayu
menahan lelah, rambutnya yang hitam terurai tak beraturan. Ia berjalan dengan
sendal jepit yang alasnya tinggal setengah centi. Tangan sebelah bapak tiga orang
anak itu memegang ujung grobak dan tangan satunya mengetok pentungan kecil dari
bahan kayu. Dengan lantang dia berteriak “gado-gado!.”

Bang Nurak mendorong buldoser kayunya di pinggiran jalan ibukota. Buldoser itu itu
di lapisi seng tipis warna milenium, lapisan kayunya di cat merah dan putih.
Untuk menarik perhatian kaca persegi empat buldosernya di tulisi “GADO-GADO
ENAK!”.

Dengan keberanian melawan
kemiskinan hidup bang Nurak nekad berjualan walaupun cuma dengan stelan kaos
abu, celana bahan hitam dan sebilah handuk kecil yang dia lingkarkan di
lehernya. Handuk yang menggantung di lehernya mungkin telah menyerap puluhan
liter keringat bang Nurak setiap harinya. Hasilnya rasa asin campur kecut,
bahkan mungkin rasanya lebih asin dari air laut sekalipun.

Bau busuk metromini,
mikrolet, motor, bajaj menyengat hidung dan menusuk paru-paru. Tapi itulah
udara kotor yang harus Ia hisap setiap harinya. Asap timbal hitam yang
membanjiri trotoar adalah suatu yang tak dapat di pisahkan dari seorang
pedagang gerobak keliling. Ditambah lagi kebisingan ngauman harimau-harimau
besi beroda yang hilir mudik menciptakan polusi suara yang mempengangkan
pendengaran. Dalam kehidupan peradaban bapak itu harus memeras keringat dan
membanting tulang. Yah sekedar untuk mencari sesuap nasi untuk makan anak istri.

Sebenarnya hari ini dia
kurang semangat berdagang, sebab pagi-pagi mulut istrinya udah ngomel gak
karuan. Padahal pagi itu ia sendang ngumpulin nyawa dengan secangkir kopi.
Masalahnya gak jauh dari duit, keperluan dapur sehari-hari. Tapi yang paling
mengganggu pikirannya adalah anaknya yang bontot di Udin udah nunggak bayar
sekolah tiga bulan. Semuanya biayanya sekitar sembilan puluh ribu, keuntungan
hasil dagang seminggu ini baru enam puluh ribu. Artinya hari ini dia harus
nyari duit tiga puluh ribu lagi.

Dalam benaknya berharap
supaya rejekinya hari ini bagus. Memang semenjak dia di PHK dari Pabrik
hidupnya terlunta-lunta. Cari kerjaan baru susah, tambah lagi krisis ekonomi
yang bikin harga kebutuhan hidup meningkat tajam. Sampe hari ini pun keadaan
negeri ini masih belum stabil. Hasilnya dari pada harus nyolong ato merampok
lebih baik berinisiatif di jalan yang halal. Dengan sisa duit yang ada, dia
buat grobak sendiri. Dan berkat masukan dari istrinya akhirnya bang Nurak
mencoba jualan gado-gado.

Alhamdulillah dengan
berjualan di trotoar jalan dia bisa membiayai istri dan tiga orang anaknya.
Tapi jadi pedagang keliling bukan pekerjaan mudah, banyak gangguan dan ancaman.
Maklum hidup di hutan liar Jakarta bukan persoalan kecil. Kalo gak ketemu
Srigala kampung yah terjebak di sarang harimau aparat. Belum lagi pungutan liar
tikus birokrasi, asal bernafas saja gak ada pungutan nya udah sukur.

Tapi bersyukur hari ini dia
gak berurusan dengan mereka, yah kalo kampret kampung yang minta seceng sih gak
masalah. Yang dia khawatirin, kalo hari ini gak dapet duit tiga puluh ribu
anaknya bisa putus sekolah. Kalo anaknya putus sekolah masa depan nya bisa
kacau. Pendidikan untuk anaknya adalah hal penting tapi saat ini sekolah
bayarnya mahal sekali, udah tau nyari duit susahnya tetengah mati.

Bang Nurak markirin
gerobaknya dekat halte setelah tadi pagi keliling kompleks. Biasanya di tempat
itu banyak yang beli. Terutama saat anak pulang sekolah dan jam makan siang
para pekerja. Dan betul saja tidak lama Bang Nurak mangkal disitu beberapa
orang mulai mesan gado-gado.

Jam kulit palsu bang Nurak
menunjukan pukul setengah dua. Belasan orang telah mampir di gerobaknya. Hari
ini memang seperti yang diharapkannya. Duit tiga puluh ribu langsung masuk
dalam kantongnya. Coet dan ulekan masih terlumuri bumbu kacang. Potongan
wortel, timun, kol, kacang panjang dan
sayur mayur pelengkap lainnya sisa sedikit. Belasan kupat yang bergantunggan di
ujung atas gerobak ludes tak tersisa. Dalam lacinya terdapat beberapa ribu dan
recehan sebagai uang lebih keuntungan hari ini.

Siang ini bang Nurak sedang
asik mencuci piring dan sendok. Dari kejauhan terlihat mobil beriringan
menghampiri gerobaknya. Mobil kijang buntung warna hitam yang belangkangnya ada
kursi panjang dari besi. Beberapa orang berpakaiaan hjau army duduk garang
sambil bawa pentungan di kursi itu. Di belakang kijang buntung ada truk besar
warna kuning dengan tulisan besar di sisinya punggungnya “Dinas Kebersihan Dan
Tata Kota DKI Jakarta”. Dengan cepat mobil itu bergerak dan berhenti di depan
gerobak dagangannya. Bang Nurak panik karena tak sempat melarikan diri. Dan
dengan cepat petugas PolPP menangkap dia dan menyita gerobak dagangannya.

Mereka mengangkut gerobaknya
ke atas truk dan menggiring bang Nurak ke mobil kijang Dinas PolPP. Tetapi bang
Nurak tidak begitu saja menerima perlakuan itu, Ia berontak sebab Ia sedang cari
makan bukan mencuri.

“Bapak mau bawa saya
kemana?,” ucap Bang Nurak.

Matanya melotot sebab kedua
tangannya diringkus oleh dua orang aparat Polisi pamong Praja, aparat Birokrasi
yang kerjanya nertibin rakyat yang sedang cari nafkah untuk nyambung hidup
keluarga, ngancurin rumah-rumah rakyat miskin, nangkepin gelandangan, dan
mengompas rakyat yang sedang usaha di tengah kesulitan zaman.

Awalnya para petugas tak
menjawab, tapi akhirnya setelah di desak mereka menjawab juga.

“Anda melnggar aturan tata kota,
Bapak harus ikut kami ke kecamatan!.”

“Aturan apa kok saya gak
tau?!”

“Sekarang Bapak ikut saja ,
nanti semuanya di jelaskan dui kantor!.”

Bang Nurak tak bisa berkata
apa-apa lagi. Ia hanya menurut ketika tubuhnya di giring ke mobil layaknya
sorang narapidana.

Sore itu cahaya kuning
kemerahan menyinari bangunan kokoh yang memancarkan aura kedigdayaan. Di
kecamatan bang Nurak di bawa ke sebuah ruangan, bang Nurak di bawa ke salah
seorang pimpinan dari mereka.

“Silahkan Pak Duduk!.”

Bang Nurak duduk di kursi
berhadapan dengan petugas.

“Bapak tau kesalahan Bapak?.”

“Tidak Tau!”

“Bapak telah melanggar
peratuaran daerah tentang kebersihan dan tata kota DKI Jakarta dengan berdagang
di badan jalan!.”

“Saya nyari makan Pak!.”

“Nyari makan boleh tapi
bukan di situ!.”

“Kalo tempat lain dagangan
saya gak laku Pak!.”

“Itu urusan bapak!.”

“Jadi kalo dagangan saya
bangkrut dan beralih jadi pencuri untuk menafkahi keluarga, apa bapak siap
bertanggung jawab?!.”

Si petugas kebingungan
menjawab pertanyaan Bang Nurak.

“Itu terserah bapak tapi
kami tidak bertanggung jawab!.”

“Kalo gitu bapak siap
menerima kalo banyak perampok dan pencuri berkeliaran di kota ini. Dan itu
semua akibat rakyat susah dan mencoba berikhtiar dengan modal seadanya. Tapi
pemerintah bukannya membantu tapi justru menjegal hingga usahanya
ancur-ancuran. Dan orang tersebut akhirnya memilih jalan pintas!,” ungkap Bang
nurak yang naik pitam.

Si petugas kembali tersudut.
Ditengah kebisuan, Bang Nurak kembali lagi bicara.

“Oke saya akan cari tempat
lain untuk jualan, tapi kalo dagangan saya gak laku. Ingat rumah Bapak yang
pertama kali akan saya rampok. Sekarang balikin gerobak saya?!.”

“Oh gak bisa gerobak bapak
kami sita!,” jawab petugas.

“Terus besok saya cari makan
peke apa?,” balas bang Nurak melotot.

“Kalo grobak bapak mau
kembali, harus di tebus!.”

“Berapa?”

“Seratus ribu untuk gerobak dan lima puluh ribu untuk
administrasi!.”

“Seratus lima puluh ribu,
duit dari mana?!.”

Si petugas terdiam, lalu
bicara lagi.

“Bapak punya berapa?.”

Bang Nurak kebingungan, duit
di kantongnya ada sembilan puluh ribu. Tapi itu untuk biaya sekolah. Kalo
gerobaknya gak di tebus dia gak bisa jualan. Nyari gerobak baru satu setengah
juta harus keluar. Milih anak sekolah ato gerobak dagangan hilang. Otak bang
Nurak di bikin pusing tujuh keliling.

“Saya cuma punya duit lim
puluh ribu!.”

“Ya sudah tapi tambah
administrasi sepuluh ribu!.”

“Yah sudah lah, tapi gerobak
bisa saya bawa!.”

“Iya!.”

***

Matahari mulai tenggelam,
bumi pun lambat laun di selubungi kegelapan. Sinar bulan bun menerangi jalan
seperti lampu patromak. Bang Nurak mendorong gerobaknya gontai. Kali ini ia pulang
dengan tangan hampa, duitnya ludes. Penindasan tikus-tikus birokrasi
benar-benar menusuk jantungnya. Mau pulang kerumah pun malu, mau bilang apa
sama anak istrinya. Apalagi kalo harus ngebayangin si Udin putus sekolah.

Bang Nurak benar-benar
tersiksa, akhirnya dari pada gak karuan di rumah dia lebih memilih bengong
duduk di trotoar jalan. Wajahnya kusut, ranbutnya acak-acakan seperti gembel.
Malam tiba Bang Nurak masih terduduk di keramaian malam janan Jakarta. Ratusan
lampu mobil menyinari jalanan dengan warna putih dan kuning. Jejeran lampu
jalan berdiri tegak menertawakan dirinya. Jiwanya sakit dan kecewa. Gerobaknya
dibiarkan nangkring di sampingnya.

Dari jauh samar-samar terlihat anak bocah mengenakan
sergam merah putih, dia berjalan menghampiri dirinya. Bocah itu menatap bang
Nurak memelas. Bibirnya di gigit, perutnya di pegang-pegang. Bang Nurak kaget
melihat anak SD denga baju agak kotor itu.

“Ada apa nak?,” tanya Bang
Nurak.

“Laper Bang, belum makan
dari pagi!.”

“Kamu mau gado-gado, tapi
kupatnya habis?!.”

Anak itu mengangguk. Melihat
bocah berseragam SD itu bang Nurak teringat si Udin yang bakal putus sekolah.
Karena itu Ia tak sungkan-sungkan membuat gado-gado untuk bosah itu. Bocah itu
makan gado-gado itu dengan lahap.

“Kamu laper nak?.” Tanya
bang Nurak.

“Saya Belum makan dari pagi.
Saya mau pulang tapi gak tau jalan!.”

“Tau alamatnya?.”

“Enggak!,” jawab bocah itu
polos.

“Coba lihat buku sekolah
kamu!.”

Dan bocah itu memberikan tas
sekolahnya. Setelah di cari-cari akhirnya bang Nurak menemukan alamat dan nomot
telepon bocah itu.

“Tunggu yah, biar abang telpon rumah kamu!.”

Lalu bang Nurak mencari
wartel untuk menghubungi orang tua bocah itu. Benar saja orang tuanya
kebingungan mencari anaknya dari kemarin belum pulang. Setelah di beritahu posisinya,
dua jam kemudian sebuah sedan hitam berhenti di depan gerobak gado-gadonya. Ibu
bocah itu langsung keluar dan berteriak memanggil anaknya. Ibu dan anak itu
larut dalam haru. Bang Nurak juga ikut terharu, sebab dalam kondisi seperti itu
Ia masih bisa menolong kesusahan orang lain. Padahal saat itu dia baru kena
musibah pula.

Sang ibu mengucapkan banyak
terima kasih pada Bang Nurak. Setelah baberapa saat mereka pun beranjak pergi.
Sebelum pergi si Ibu memberikan amplop pada bang Nurak sebagai tanda terima
kasih. Bang Nurak membuka isi amplopnya, terdapat dua lembar uang seratus ribu
di dalamnya. Saat itu juga terbayang dibenaknya wajah si Udin tertawa ceria dengan seragam merah putih.

TAMAT