Monday, August 21, 2006

Cerpen Surga Di Kolong Jembatan!

Surga Di Kolong Jembatan

Kolong jembatan tempat Ato terduduk di atas kardus menebarkan bau sampah, kotoran anjing, air comberan, dan hawa panas menyengat seperti dipanggang di atas penggorengan. Kaos oblong bercampur debu dan tanah melekat di atas kulit Ato yang hitam pekat. Bau tubuh Ato seperti bangkai tikus karena selama berminggu-minggu tak pernah menyentuh air bersih.

Ia terbangun dengan wajah kusam, mirip Mumi atau mayat yang bangkit kembali. Matanya menatap alam liar yang sama sekali tidak indah untuk di pandang. Tumpukan sampah berwarna-warni. Hamparan tanah kotor dan becek di hiasi aliran kali berwarna coklat kehitam-hitaman bercampur buangan sampah yang menyebarkan aroma tidak sedap. Itulah atap rumah yang ia tau selama hidupnya.

Anak tujuh tahun itu sama sekali tidak tau siapa Ayah dan Ibunya. Yang ia tau dari Ibu asuhnya Ma eroh, Ia di temukan di kolong jembatan saat masih merah penuh darah bersama tali puser yang belum terpotong. Ma Eroh bilang Ia sangka dia sudah mati, tapi aneh nya ketika Ia menyentuh tubuhnya. Si Ato yang masih bayi mengeluarkan tangisan, dan seterusnya Ma Eroh lah yang membesarkannya dengan susah payah. Mungkin itu informasi terakhir yang ia tau sebelum Ma Eroh menghembuskan nafas terakhir karena usianya sudah terlalu tua. Dan yang selama ini Ato tau untuk bertahan hidup hanya dengan cara meminta-minta. Kalau gak dapet terpaksa dia harus makan sampah dan minum air comberan.

Bocah kecil itu hidup di sebuah peradaban yang mencekam. Terdengar suara bising dari besi-besi mengkilat di atas jembatan. Siang ini Ato masih terduduk lemah di atas kardus coklat muda bercampur pasir. Bola matanya menatap ke ujung kota. Terlihat di sana pohon-pohon pencakar langit berjejer rapi. Kemegahan pohon kaca itu seolah-olah menertawakan dirinya setiap pagi. Belantara kota Jakarta memang tidak pernah perduli pada nasib dirinya.

Harimau coklat aparat selalu menjadi musuhnya setiap hari. Pukulan pentungan petugas PoolPP menjadi kenangan sendiri setiap minggu. Di tambah lagi Srigala-srigala kampung yang kerjanya menodong dan mencuri menjadi ancaman baginya setiap hari. Malah ada temannya yang pernah di sodomi oleh mereka. Alam kehidupan ini membuat dirinya harus bersikap keras dan garang. Sebab tak ada seorang pun yang dapat ia percaya selain Ma Eroh yang sudah meninggal.

Cita-cita Ato yang paling tinggi ingin mempunyai sebuah gitar kopong, agar bisa mencari makan dengan ngamen di jalan. Tapi semua itu hanya mimpi baginya, semua harapan hidupnya saat ini telah hancur. Sudah dua hari isi lambungnya belum di isi oleh apapun dan satu hari terakhir isi perutnya hanya di isi oleh air kali. Mencari sampah yang bisa di makan pun tak ada. Badannya semakin lemah, untuk berjalan pun tak mampu. Karena itu Ia hanya bisa terduduk di atas kardus.

Dari kejauhan muncul seorang anak kecil seumuran dengannya. Wajahnya coklat kusam terpanggang matahari. Dia memakai celana Levis biru robek-robek dan kaosnya berwarna hitam penuh debu. Rupanya anak itu Aji teman dekat Ato. Anak kurus, pendek, berkepala botak itu mampir ke tempat si Ato. Tapi Ato menatap Aji acuh tak acuh.

“Eh tolol, kemana aja lo tiga hari gak keliatan!,” ucap Aji.

Ato menatap Aji tanpa suara. Mulutnya tak mampu mengeluarkan kata-kata.

“Kenapa To diem aja, marah lo sama gua!.”

“Gua dua hari belum makan!,” ucap Ato berusaha bersuara.

“Kalo gitu sama, gua seharian ini juga belum makan. Gua kira lo punya makanan makanya gua kesini. Gua ngorek-ngorek tempat sampah di ujung sana tapi gak ada yang bisa di makan!,” ucap Aji mengeluh.

“Gua seharian ini cuma minum air kali!,” ucap Ato.

“Eh To kata Emak gua, kalo lo keseringan minum air kali bisa cepet mati!.”

“Trus sekarang lo mau ngapain?,” tanya Aji.

“Gak tau badan gua dingin Ji!.”

“Mending mo dikerjain aja sama Anton gedek. Lumayan kan buat makan, di jamin dah perut lo kenyang!,” tawar Aji sambil memegang bahu Ato.

Ato melepaskan pegangan bahu aji sambil menggelengkan kepalanya.

“Lebih baik gua mati!.”

“Ya udah kalo gak mau, sekarang lo mau nyari makan di mana?.”

Muka Ato pucat. Satu sisi badannya lagi sakit, tapi dia harus nyari makan.

“Ji, gendong gua keatas. Gua mau ngemis!,” jawab Ato.

“Emangnya lo gak bisa jalan sendiri!.”

“Gua gak bisa jalan sendiri!.”

“Gua gak bisa bangun Ji, udah dua hari gua duduk di sini!.”

Kemudian Aji menggendong Ato yang lemas tak berdaya. Dia membawa Ato ke atas Jembatan. Dengan susah payah akhirnya Aji berhasil menyadarkan Ato di pinggir pagar beton jembatan. Panas Matahari menyengat membakar kulit. Metromini, mikrolet, motor, dan mobil berhalu-lalang melewati jembatan bergantian. Puluhan sendal dan sepatu bergerak bebas melewati tubuh Ato yang tersungkur. Cahaya kuning menampar muka Ato yang hitam merah terbakar. Gelas plastik kosong Ia taruh di antara kakinya yang terdampar di atas trotoar. Aji masih beristirahat di samping Ato.

“To lo masih tahan hidup seperti ini!.”

“Gak tau Ji, tapi pesan Ma Eroh sebelum meninggal. Katanya gua harus ngejalanin hidup ini dengan sabar dan ikhlas!,” ucap Ato.

“Oh gitu, pantesan gua gak pernah ngeliat lo nyolong!.”

“Yah walaupun gua gak ngerti. tapi artinya gua harus menerima jalan nasib yang gua lalui!,” ucap Ato pelan. Mukanya sedikit bersemangat.

“Bener juga omongan lo To, kalo gitu entar malem gua kesini lagi ya. kalo bisa gua bawain lo makanan!,” ucap Aji sebari ngeloyor meninggalkan Ato sendirian.

Sengatan matahari mulai menghilang. Tamparannya semakin lama semakin redup. Beberapa koin cepean mulai berjatuhan di atas gelas plastik. Wajah Ato mulai gembira melihat buturan-butiran koin yang keluar dari orang-orang yang lewat. Ada yang memberinya terpaksa karena Ato mendesak. Tapi ada yang memberinya terpaksa karena Ato mendesak. Tapi ada juga yang memberikan karena simpati melihat penderitaan anak itu.

Tapi ada yang tidak habis di mengerti, kenapa masih ada orang-orang di sekitar dia yang berfikiran mengemis merupakan pembodohan yang membuat orang malas dan tidak mau bekerja. Sebab si Ato berbuat seperti itu bukan karena Ia malas. Ia berbuat seperti itu disebabkan tak ada lagi usaha yang dapat dia lakukan untuk mendapatkan uang selain mencuri.

Dan itu bukan pembodohan, sebab Ato memang orang bodoh. Dia gak pernah sekolah bahkan untuk baca dan menulis pun anak itu tak mampu. Yang dia pikirkan cuma satu bagaimana hari ini ia bisa makan?. Selebihnya urusan sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum dan keamanan boro-boro Ia pikirin.

Karena itu salah apabila peradaban mencap Ia sebagai sampah masyarakat. Bagi Ato mengemis merupakan pekerjaan paling berat dan memalukan. Bayangkan seorang anak manusia harus menengadahkan tangannya, mempecundangi harga diri dan kehormatannya hanya untuk sesuap nasi pengganjal lambung. Apakah itu sebuah pembodohan, atau mereka yang bodoh karena pelit dan malas menyisihkan sedikit uang untuk orang-orang susah yang amat sangat membutuhkan pertolongan. Inilah peradaban modern yang amat sangat beradab dan canggih, yang harus di hadapi oleh anak kecil seperti Ato.

Hingga sore hari sepuluh koin cepean telah terkumpul. Bathin Ato sedikit tenang sebab beberapa saat lagi Ia bisa makan ala kadarnya. Sinar mentari berwarna kuning tua menghangatkan tubuh Ato yang mencoba bertahan hidup di atas jembatan. Tapi sore ini Ato di datangi oleh dua orang Serigala jahanam yang kelaparan. Matanya melotot tajam seperti pisau. Rambutnya gondrong tak beraturan kayak Iblis. Leher dan tangannya di kalungi logam-logam mengkilat. Tapi dia tetap memasang wajah garang seperti kucing.

“Hei Anjing, ngapain lo ngemis disini. Ngeganggu gua lewat aja. Lo gak tau gua penguasa daerah sini!,” ucap salah seorang dari mereka.

“Gua anak kolong, gua nyari makan!,” jawab Ato pada Preman itu.

“Gak perduli anak kolong atau siapa pun. Kalo elo nyari makan di daerah sini, elo harus setoran kegua!,” ucap Preman mengeplang kepala Ato pake tangannya.

“Sekarang mana penghasilan lo. Gua sita semua!,” ucap Preman lainnya sambil merampas duit recehan di dalam gelas plastik.

“Jangan Bang gua belum makan dari kemarin!,” ucap Ato mempertahankan harta terakhirnya.

“Alah bodo amat!,” ucap Preman merampas seluruh kekayaan Ato.

Dengan kekuatan terakhirnya Ato mencoba merebut kembali uang miliknya. Tetapi sebuah pukulan mentah mendarat pas di wajahnya. “Makan tuh pukulan gua!,” ucap si Preman sebari pergi meninggalkan Ato yang lemah tak berdaya.

“Kurang ajar lo!,” ucap Preman satu lagi sebari menendang tubuh Ato yang terkapar di atas trotoar.

Ato hanya bisa menangis dan menjerit di dalam hati. Matanya merah berair, dari sana keluar air asin yang mengalir di pipi hitam dan kusam. Hatinya dongkol dan sakit. Ia merasa tidak adil dan di tindas dengan perlakuan seperti ini. Ia menjerit sekali kepada Dunia dan peradaban liar di sekelilingnya.

”Aaaaaaaaaaakkkkhhhhhh!,”teriak Ato sekuat tenaga menggetarkan langit peradaban.

Ia marah pada semua makhluk di Bumi ini. Apakah nasib seperti ini layak Ia terima. Apakah semua manusia benar-benar tidak perduli dengan penderitaan yang Ia alami.

Lambungnya sakit seperti di tusuk-tusuk pisau. Pikirannya berat seperti di timpa batu besar. Dadanya bergetar tak kuasa lagi menahan penderitaan ini. Ia meratap pada yang maha kuasa. Rasanya ingin meledakkan dirinya dengan granat atau nuklir. Biar semua manusia menyadari bahwa dia adalah manusia paling sengsara di atas muka Bumi ini.

Perut Ato mulai sakit. Bukan hanya lapar, tapi sepertinya ada binatang yang sedang menggerogoti hidup-hidup di dalam perut. Badannya tinggal tulang, matanya pucat pasi, nafasnya tersengal-sengal, kepalanya pusing tujuh keliling. Ia berusaha bertahan dari kesakitan yang Ia derita. Beberapa orang yang melewati tempat itu seolah-olah tak perduli dengan penderitaannya. Mereka lewat begitu saja seolah-olah mendoakan agar cepat mati. Mampus seperti bangkai Anjing. Paling-paling kalau dia mati mayatnya di buang di kali begitu saja, biar di bawa arus menuju laut lepas.

Mata Ato menatap langit yang mulai memerah. Awan putih bergerak beriringan tanpa henti. Jiwanya sudah pasrah dengan apa yang kan terjadi. Seandainya ia harus mati pun ia sudah terima. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi kecuali diam dan menikmati menit-menit terakhir dalam hidupnya.

Seorang nenek tua berjalan menghampirinya. Bajunya lusuh dan bau, rambutnya gimbal dan kulitnya hitam. Ia terdiam berdiri di samping Ato. Tangannya memegang plastik berisi sampah-sampah bekas. Mata hitamnya menatap Ato dengan tajam.

“Kenape lo?,”tanyanya.

“Lapar! Belum makan!,” ucap Ato pelan.

Kemudian nenek tua itu mengambil sesuatu dalam plastiknya. Lalu melemparkan sepotong roti busuk yang penuh dengan jamur. Ato menerima itu bagaikan kejatuhan Durian, dengan sisa-sisa tenaga terakhirnya ia mengambil makanan itu dengan garang. Seperti Harimau lapar memangsa seekor anak Rusa. Tanpa pikir panjang Ato langsung memakan tanpa nafas. Ia memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya dengan cepat, tanpa merasakan pahit atau busuknya roti tersebut. Sedangkan nenek tua itu pergi jauh meninggalkan si Ato. Dan dalam beberapa detik roti tersebut masuk ke dalam lambungnya.

Perutnya sedikit terganjal dari rasa lapar. Walaupun tubuhnya masih lemah dan perutnya masih sakit. Tetapi Ia masih bisa bersantai dan merenung. Dia menemukan suatu pencerahan bahwa untuk mencari kebahagiaan dalam hidup yang harus di lakukan bukan melihat orang lain dengan segala kemewahan dan kekayaan yang mereka miliki. Tetapi dengan menikmati kehidupan yang kita jalani tanpa harus perduli sedikit pun dengan kehidupan orang lain. Seperti sore ini matahari mulai tenggelam, sinarnya menyejukkan hati dan jiwanya. Angin berhembus begitu sejuk. Burung-burung terbang di atas langit. Sesaat Ato tersenyum pada DUNIA...?!.

Tetapi setelah itu perut dan kepalanya di dera sakit tujuh keliling. Mulutnya mengeluarkan cairan roti bercampur darah. Badannya gemetar terkena racun dalam roti. Matanya membelak..., mulutnya menganga mengeluarkan busa. Dan Roh Ato Pun Terbang Ke Surga. Bersama Malaikat dan Bidadari jiwa Ato melayang menuju langit ke tujuh.

TAMAT (“ Bogor Indonesian 2006” )

No comments: