Saturday, October 11, 2008

Cerpen Manusia Trotoar

ManusiaTrotoar

Oleh: Gatot Aryo

Seorang laki-laki mendorong
grobaknya di trotoar jalan. Kulitnya coklat kehitam-hitaman, matanya sayu
menahan lelah, rambutnya yang hitam terurai tak beraturan. Ia berjalan dengan
sendal jepit yang alasnya tinggal setengah centi. Tangan sebelah bapak tiga orang
anak itu memegang ujung grobak dan tangan satunya mengetok pentungan kecil dari
bahan kayu. Dengan lantang dia berteriak “gado-gado!.”

Bang Nurak mendorong buldoser kayunya di pinggiran jalan ibukota. Buldoser itu itu
di lapisi seng tipis warna milenium, lapisan kayunya di cat merah dan putih.
Untuk menarik perhatian kaca persegi empat buldosernya di tulisi “GADO-GADO
ENAK!”.

Dengan keberanian melawan
kemiskinan hidup bang Nurak nekad berjualan walaupun cuma dengan stelan kaos
abu, celana bahan hitam dan sebilah handuk kecil yang dia lingkarkan di
lehernya. Handuk yang menggantung di lehernya mungkin telah menyerap puluhan
liter keringat bang Nurak setiap harinya. Hasilnya rasa asin campur kecut,
bahkan mungkin rasanya lebih asin dari air laut sekalipun.

Bau busuk metromini,
mikrolet, motor, bajaj menyengat hidung dan menusuk paru-paru. Tapi itulah
udara kotor yang harus Ia hisap setiap harinya. Asap timbal hitam yang
membanjiri trotoar adalah suatu yang tak dapat di pisahkan dari seorang
pedagang gerobak keliling. Ditambah lagi kebisingan ngauman harimau-harimau
besi beroda yang hilir mudik menciptakan polusi suara yang mempengangkan
pendengaran. Dalam kehidupan peradaban bapak itu harus memeras keringat dan
membanting tulang. Yah sekedar untuk mencari sesuap nasi untuk makan anak istri.

Sebenarnya hari ini dia
kurang semangat berdagang, sebab pagi-pagi mulut istrinya udah ngomel gak
karuan. Padahal pagi itu ia sendang ngumpulin nyawa dengan secangkir kopi.
Masalahnya gak jauh dari duit, keperluan dapur sehari-hari. Tapi yang paling
mengganggu pikirannya adalah anaknya yang bontot di Udin udah nunggak bayar
sekolah tiga bulan. Semuanya biayanya sekitar sembilan puluh ribu, keuntungan
hasil dagang seminggu ini baru enam puluh ribu. Artinya hari ini dia harus
nyari duit tiga puluh ribu lagi.

Dalam benaknya berharap
supaya rejekinya hari ini bagus. Memang semenjak dia di PHK dari Pabrik
hidupnya terlunta-lunta. Cari kerjaan baru susah, tambah lagi krisis ekonomi
yang bikin harga kebutuhan hidup meningkat tajam. Sampe hari ini pun keadaan
negeri ini masih belum stabil. Hasilnya dari pada harus nyolong ato merampok
lebih baik berinisiatif di jalan yang halal. Dengan sisa duit yang ada, dia
buat grobak sendiri. Dan berkat masukan dari istrinya akhirnya bang Nurak
mencoba jualan gado-gado.

Alhamdulillah dengan
berjualan di trotoar jalan dia bisa membiayai istri dan tiga orang anaknya.
Tapi jadi pedagang keliling bukan pekerjaan mudah, banyak gangguan dan ancaman.
Maklum hidup di hutan liar Jakarta bukan persoalan kecil. Kalo gak ketemu
Srigala kampung yah terjebak di sarang harimau aparat. Belum lagi pungutan liar
tikus birokrasi, asal bernafas saja gak ada pungutan nya udah sukur.

Tapi bersyukur hari ini dia
gak berurusan dengan mereka, yah kalo kampret kampung yang minta seceng sih gak
masalah. Yang dia khawatirin, kalo hari ini gak dapet duit tiga puluh ribu
anaknya bisa putus sekolah. Kalo anaknya putus sekolah masa depan nya bisa
kacau. Pendidikan untuk anaknya adalah hal penting tapi saat ini sekolah
bayarnya mahal sekali, udah tau nyari duit susahnya tetengah mati.

Bang Nurak markirin
gerobaknya dekat halte setelah tadi pagi keliling kompleks. Biasanya di tempat
itu banyak yang beli. Terutama saat anak pulang sekolah dan jam makan siang
para pekerja. Dan betul saja tidak lama Bang Nurak mangkal disitu beberapa
orang mulai mesan gado-gado.

Jam kulit palsu bang Nurak
menunjukan pukul setengah dua. Belasan orang telah mampir di gerobaknya. Hari
ini memang seperti yang diharapkannya. Duit tiga puluh ribu langsung masuk
dalam kantongnya. Coet dan ulekan masih terlumuri bumbu kacang. Potongan
wortel, timun, kol, kacang panjang dan
sayur mayur pelengkap lainnya sisa sedikit. Belasan kupat yang bergantunggan di
ujung atas gerobak ludes tak tersisa. Dalam lacinya terdapat beberapa ribu dan
recehan sebagai uang lebih keuntungan hari ini.

Siang ini bang Nurak sedang
asik mencuci piring dan sendok. Dari kejauhan terlihat mobil beriringan
menghampiri gerobaknya. Mobil kijang buntung warna hitam yang belangkangnya ada
kursi panjang dari besi. Beberapa orang berpakaiaan hjau army duduk garang
sambil bawa pentungan di kursi itu. Di belakang kijang buntung ada truk besar
warna kuning dengan tulisan besar di sisinya punggungnya “Dinas Kebersihan Dan
Tata Kota DKI Jakarta”. Dengan cepat mobil itu bergerak dan berhenti di depan
gerobak dagangannya. Bang Nurak panik karena tak sempat melarikan diri. Dan
dengan cepat petugas PolPP menangkap dia dan menyita gerobak dagangannya.

Mereka mengangkut gerobaknya
ke atas truk dan menggiring bang Nurak ke mobil kijang Dinas PolPP. Tetapi bang
Nurak tidak begitu saja menerima perlakuan itu, Ia berontak sebab Ia sedang cari
makan bukan mencuri.

“Bapak mau bawa saya
kemana?,” ucap Bang Nurak.

Matanya melotot sebab kedua
tangannya diringkus oleh dua orang aparat Polisi pamong Praja, aparat Birokrasi
yang kerjanya nertibin rakyat yang sedang cari nafkah untuk nyambung hidup
keluarga, ngancurin rumah-rumah rakyat miskin, nangkepin gelandangan, dan
mengompas rakyat yang sedang usaha di tengah kesulitan zaman.

Awalnya para petugas tak
menjawab, tapi akhirnya setelah di desak mereka menjawab juga.

“Anda melnggar aturan tata kota,
Bapak harus ikut kami ke kecamatan!.”

“Aturan apa kok saya gak
tau?!”

“Sekarang Bapak ikut saja ,
nanti semuanya di jelaskan dui kantor!.”

Bang Nurak tak bisa berkata
apa-apa lagi. Ia hanya menurut ketika tubuhnya di giring ke mobil layaknya
sorang narapidana.

Sore itu cahaya kuning
kemerahan menyinari bangunan kokoh yang memancarkan aura kedigdayaan. Di
kecamatan bang Nurak di bawa ke sebuah ruangan, bang Nurak di bawa ke salah
seorang pimpinan dari mereka.

“Silahkan Pak Duduk!.”

Bang Nurak duduk di kursi
berhadapan dengan petugas.

“Bapak tau kesalahan Bapak?.”

“Tidak Tau!”

“Bapak telah melanggar
peratuaran daerah tentang kebersihan dan tata kota DKI Jakarta dengan berdagang
di badan jalan!.”

“Saya nyari makan Pak!.”

“Nyari makan boleh tapi
bukan di situ!.”

“Kalo tempat lain dagangan
saya gak laku Pak!.”

“Itu urusan bapak!.”

“Jadi kalo dagangan saya
bangkrut dan beralih jadi pencuri untuk menafkahi keluarga, apa bapak siap
bertanggung jawab?!.”

Si petugas kebingungan
menjawab pertanyaan Bang Nurak.

“Itu terserah bapak tapi
kami tidak bertanggung jawab!.”

“Kalo gitu bapak siap
menerima kalo banyak perampok dan pencuri berkeliaran di kota ini. Dan itu
semua akibat rakyat susah dan mencoba berikhtiar dengan modal seadanya. Tapi
pemerintah bukannya membantu tapi justru menjegal hingga usahanya
ancur-ancuran. Dan orang tersebut akhirnya memilih jalan pintas!,” ungkap Bang
nurak yang naik pitam.

Si petugas kembali tersudut.
Ditengah kebisuan, Bang Nurak kembali lagi bicara.

“Oke saya akan cari tempat
lain untuk jualan, tapi kalo dagangan saya gak laku. Ingat rumah Bapak yang
pertama kali akan saya rampok. Sekarang balikin gerobak saya?!.”

“Oh gak bisa gerobak bapak
kami sita!,” jawab petugas.

“Terus besok saya cari makan
peke apa?,” balas bang Nurak melotot.

“Kalo grobak bapak mau
kembali, harus di tebus!.”

“Berapa?”

“Seratus ribu untuk gerobak dan lima puluh ribu untuk
administrasi!.”

“Seratus lima puluh ribu,
duit dari mana?!.”

Si petugas terdiam, lalu
bicara lagi.

“Bapak punya berapa?.”

Bang Nurak kebingungan, duit
di kantongnya ada sembilan puluh ribu. Tapi itu untuk biaya sekolah. Kalo
gerobaknya gak di tebus dia gak bisa jualan. Nyari gerobak baru satu setengah
juta harus keluar. Milih anak sekolah ato gerobak dagangan hilang. Otak bang
Nurak di bikin pusing tujuh keliling.

“Saya cuma punya duit lim
puluh ribu!.”

“Ya sudah tapi tambah
administrasi sepuluh ribu!.”

“Yah sudah lah, tapi gerobak
bisa saya bawa!.”

“Iya!.”

***

Matahari mulai tenggelam,
bumi pun lambat laun di selubungi kegelapan. Sinar bulan bun menerangi jalan
seperti lampu patromak. Bang Nurak mendorong gerobaknya gontai. Kali ini ia pulang
dengan tangan hampa, duitnya ludes. Penindasan tikus-tikus birokrasi
benar-benar menusuk jantungnya. Mau pulang kerumah pun malu, mau bilang apa
sama anak istrinya. Apalagi kalo harus ngebayangin si Udin putus sekolah.

Bang Nurak benar-benar
tersiksa, akhirnya dari pada gak karuan di rumah dia lebih memilih bengong
duduk di trotoar jalan. Wajahnya kusut, ranbutnya acak-acakan seperti gembel.
Malam tiba Bang Nurak masih terduduk di keramaian malam janan Jakarta. Ratusan
lampu mobil menyinari jalanan dengan warna putih dan kuning. Jejeran lampu
jalan berdiri tegak menertawakan dirinya. Jiwanya sakit dan kecewa. Gerobaknya
dibiarkan nangkring di sampingnya.

Dari jauh samar-samar terlihat anak bocah mengenakan
sergam merah putih, dia berjalan menghampiri dirinya. Bocah itu menatap bang
Nurak memelas. Bibirnya di gigit, perutnya di pegang-pegang. Bang Nurak kaget
melihat anak SD denga baju agak kotor itu.

“Ada apa nak?,” tanya Bang
Nurak.

“Laper Bang, belum makan
dari pagi!.”

“Kamu mau gado-gado, tapi
kupatnya habis?!.”

Anak itu mengangguk. Melihat
bocah berseragam SD itu bang Nurak teringat si Udin yang bakal putus sekolah.
Karena itu Ia tak sungkan-sungkan membuat gado-gado untuk bosah itu. Bocah itu
makan gado-gado itu dengan lahap.

“Kamu laper nak?.” Tanya
bang Nurak.

“Saya Belum makan dari pagi.
Saya mau pulang tapi gak tau jalan!.”

“Tau alamatnya?.”

“Enggak!,” jawab bocah itu
polos.

“Coba lihat buku sekolah
kamu!.”

Dan bocah itu memberikan tas
sekolahnya. Setelah di cari-cari akhirnya bang Nurak menemukan alamat dan nomot
telepon bocah itu.

“Tunggu yah, biar abang telpon rumah kamu!.”

Lalu bang Nurak mencari
wartel untuk menghubungi orang tua bocah itu. Benar saja orang tuanya
kebingungan mencari anaknya dari kemarin belum pulang. Setelah di beritahu posisinya,
dua jam kemudian sebuah sedan hitam berhenti di depan gerobak gado-gadonya. Ibu
bocah itu langsung keluar dan berteriak memanggil anaknya. Ibu dan anak itu
larut dalam haru. Bang Nurak juga ikut terharu, sebab dalam kondisi seperti itu
Ia masih bisa menolong kesusahan orang lain. Padahal saat itu dia baru kena
musibah pula.

Sang ibu mengucapkan banyak
terima kasih pada Bang Nurak. Setelah baberapa saat mereka pun beranjak pergi.
Sebelum pergi si Ibu memberikan amplop pada bang Nurak sebagai tanda terima
kasih. Bang Nurak membuka isi amplopnya, terdapat dua lembar uang seratus ribu
di dalamnya. Saat itu juga terbayang dibenaknya wajah si Udin tertawa ceria dengan seragam merah putih.

TAMAT

No comments: